Janji Coklat



            Malam ini aku menunggunya. Memang aku tidak ada janjian tapi dia pernah berjanji ingin mentraktirku coklat. Aku pikir ini saat yang tepat. Lama. Aku tidak menyalahkannya kenapa ia tidak datang ini semua salahku. Aku menunggunya hingga kafe tutup. Tak ada. Sudahlah aku pulang. Larut sekali ada yang mengetok kamarku, akhirnya ternyata dia datang. Meskipun tanpa coklat.
Pagi...
Tok! Tok ! Tok! Pintu kamarku terbuka sedikit karena ketukan, aku baru saja bangun tidur. Seluruh badanku masih terasa lengket dan berantakan. Aku merapikan bajuku dan keluar kamar. Ternyata Aloom telah berdiri di depan kos ku dengan membawa helmnya.
“Apa yang membuatmu bingung Al?”
“Hah? Maksudnya? Kamu ngapain kesini Loom? Aku belum mandi.” Aloom mengagetkanku dengan pertanyaan anehnya. Aku teringat tadi malam aku mengiriminya sebuah pesan. Pesan yang berisi kebimbanganku selama ini.
“Pesan yang tadi malam, apa yang membuatmu bingung dan bimbang?”
Teringat semalam aku tidak bisa tidur karena berpikir keras. Hatiku sesak ingin rasanya menjerit dan bertanya kepada tuhan dan berharap langsung mendapatkan jawaban. “Tuhan aku harus bagaimana?”. Tuhan tetap tak menjawab pertanyaanku. Waktu menunjukan pukul 00.33 WIB aku teringat Aloom yang baru saja pulang dari kos ku, padahal aku tahu dia sangat lelah karena latihan.
“Selamat beristirahat Loom J”.hanya itu yang mampu aku ucapkan untuknya. Hingga aku tersadar kembali. Perbincangan kita malam itu.
“Al nanti Acong sama Cici lewat lihat kita gimana?” Tanya Aloom khawatir.
“Gak papa emang kenapa kalo mereka lihat kita?”
“Al Ahsan baru saja lewat bersama Yundha, Sepertinya mereka tahu aku disini.”
“Kok bisa kan kamu terhalang sama aku?”
“Dia kan lihat motorku Al”.
“Yaudah biarin, gapapa kan kalo mereka tahu kamu disini?” Jawabku. Aku hanya ingin melihat bagaimana respon Aloom jika aku menjawab seperti itu, menjawab seakan-akan tidak akan ada masalah yang terjadi, seakan-akan kita oh aku tidak melakukan kesalahan apapun.
“Tapi kan Al bukannya katamu Yundha tidak boleh tahu?”
Aku terdiam sejenak.
Malam itu aku sadar aku terlalu terlena akan perasaan hingga aku melupakan perasaan orang lain. “Ya tuhan aku harus bagaimana?". Aku menghela nafas yang panjang. Aku masih belum bisa tidur dengan tenang. Aku hanya tidak mau oranglain sakit hati karena aku hanya memikirkan diriku sendiri. Padahal kemarin aku sudah membuat keputusan dan aku malah lalai. Tepat pukul 03.59 WIB Aku mengirim SMS ke Aloom bahwa besok dia tidak perlu ke kosku lagi, aku memutuskan untuk menyerah dan dia juga harus menyerah, toh keadaan tidak berpihak pada kita. Aku hanya tidak ingin Aloom terlalu berpikir keras memikirkan kisah kita berdua, kisah yang dapat diterka bagaimana, kisah yang takkan pernah berujung bahagia. Aku tidak ingin dia membuang-buang waktu hanya untuk memikirkan hal yang akan membuat hatinya terluka. Aku hanya tidak ingin dia dijauhi oleh Yundha dan sahabat-sahabatnya. Aku hanya ingin dia hidup bahagia dengan tenang. Hanya itu. Pagi ini dia nyata datang berhadapan denganku di depan pintu ini. Pintu bertirai bunga coklat layu selayu bunga Aloom yang masih kusimpan di dalam pot plastik. Aku menjelaskan pada Aloom apa yang membuatku menjadi bingung dan bimbang. 
"Aku pikir  aku harus menyerah." Jawaban yang menurutku sangat tepat untuknya, untuk kita semua.
“Benar kamu  ingin menyerah?” Tanyanya dengan nada selayu mawar.
Aku hanya menunduk “Iya” sementara hatiku dengan keras mengatakan “Tidak, kenapa harus begini? Aku sama sekali tidak menginginkan hal ini sungguh.
“iya” jawabku
"Baiklah jika itu maumu, sekali lagi aku ingin dengar dengan telingaku sendiri bahwa kamu menyerah." Pintanya
"Aloom aku tidak tahu harus bagaimana lagi, aku menyerah dengan semua kisah ini."
"Oke, sana siap-siap aku akan mengantarmu kuliah".
Aloom mengantarku kuliah, sesampainya di kampus dia bilang bahwa dia akan mengirimkan email terakhir pukul 2 siang nanti. 
"Nanti tolong baca e-mail ku, mungkin ini yang terakhir."
"Tidak. aku tidak akan membacanya". Aku menjawab dengan penuh rasa takut. Aku takut Aloom akan membenciku seumur hidupnya, aku takut jauh, takut berpisah, takut segalanya akan menghilang dariku. Kisah Indah yang pernah kita tuliskan bersama.
"Kenapa?" Tanya Aloom padaku.
"Aku takut membaca email itu Al".
"Isinya tidak buruk, baca saja". Iya tersenyum padaku. Mungkin itu adalah senyumnya yang terakhir.

Malam...
Tepat pukul 2 siang tadi aku membuka e-mail lewat Hp  teman sekelasku Merpati. E-mail dari Aloom sudah terkirim di kotak masukku. Sebenarnya dari sore aku ingin membaca email dari Aloom, tapi... entahlah aku belum siap. Malam ini aku siap dengan segala resiko. Malam ini ada jadwal latihan, aku sengaja berangkat sedikit telat agar aku bisa meminjam Laptop Alan untuk membaca e-mailnya.

Percaya atau tidak aku sudah tahu bagaimana arah kisah ini akan berjalan bahkan sebelum aku menulisnya. Seolah aku sudah pernah menjalaninya seperti biasa. Aku berusaha menghiraukannya, aku menjalaninya, mencari arah baru dalam kisah ini.
Mungkin semua ini terjadi karena kesalahanku. Mungkin keberadaankulah yang merusak mereka, menggangu kehidupan mereka. Atau mungkin  akulah yang salah mengambil keputusan. Entahlah. Semua ini kuanggap sebagai takdir Tuhan. Bukan cobaan, tetapi hukuman. Hukuman karena aku tak menyembah-Nya. Hukuman karena aku tidak patuh kepada perintah-Nya. Hukuman karena aku berada diantara mereka.
    Mungkin banyak orang menganggap diriku sedikit kekanak-kanakan. Mungkin banyak orang menganggapku egois. Mungkin banyak orang menganggapku tak punya sopan santun. Mungkin memang begitulah sifatku. Sifatku terbentuk karena apa yang telah kulalui dalam hidup. Apa yang kulalui tidak banyak orang yang melaluinya dan juga sebaliknya.
-----------
    Hari itu ,seperti biasa, sehabis latihan, kami mengobrol untuk menghilangkan lelah seperti biasa.
Loom!! Pulang yuk aku nebeng sih! Mumpung Rani masih bangun!”  minta Rubi.
Aku diam sedang melihat apakah ada pesan di Hp.
“ayo ,Loom! Kasian Laila udah nungguin!” minta Rubi kepadaku.
-----------
    Aku pamitan dengan teman-teman yang lain. Lalu keluar gedung untuk mengambil motor . Tiba-tiba rubi berkata “ Loom, kamu tuh udah ditungguin Alba loh”. “Alba?” jawabku bingung.
“Iya, dia tuh nungguin kamu daritadi. Katanya kamu mau nraktir coklat. Dia nungguin loh di depan kosnya daritadi” kata Rubi
“Eh, serius? Aku kan udah bilang malam ini ,aku ada latihan?” aku mulai merasa bersalah.
“ iya ,serius . aku tadi di telpon ama Alba.” Jawab Rubi dengan senyum nakal ciri khasnya. “tuh , kamu tuh udah ditungguin loh. Dasar cowok jambu!”
“jambu?”
“janji busuk!” tungkasnya.
“Beneran tuh,ri? yaudah aku langsung kesana aja. Kamu jalan kaki aja ya?” jawabku dengan serius, mulai panik.
“ehh.anterin dulu Loom!”
“yaudah, ayo”
-----------
    Sampai di kos Rubi , kutanya dia sekali lagi ,“Tadi dia beneran bilang gitu di telpon?”. “Iya Loom burusan gih kesana. Udah ditungguin tuh! Dasar jambu” jawab Rubi. Langsung kunyalakan motor lagi dansegera berangkat menuju kos Alba.
    Sampainya disana , kuparkirkan motor dekat dengan jalan karena kosnya tepat di pinggir jalan. Aku menuju depankosnya.
Kuketok pintunya. tok tok tok.”Al” kupanggil dia. Tidak ada jawaban .Kucoba lagi lebih keras, TOK TOK TOK”Al..” tetap tidak ada jawaban.
“Orangnya tadi di kos,mas” tiba-tiba seorang ibu menjawab. “Eh, tapi kok gak dibukain,ya ,Bu?”jawabku.
“bentar ,mas, kalo orangnya dikos, biasanya sendalnya ada didepan kos” jawab ibunya sambil mencari sandal. “Nggak ada, mas. Berarti orangnya pergi ke kampus “ simpul ibunya.
“yaudah ,bu makasih. Saya pergi dulu” pamitku kepada ibunya. “iya.mas”
Kucoba sms, ternyata pulsa ku habis. Kucari konter hp terdepat untuk beli pulsa. Tiba-tiba Alba sms “Loom , tadi kmu habis dari kosku?” . kujawab iy, Al. Tadi kamu kemana?”.  
“aku di kafe depan kosku kok Loom”.
-----
-----
-----
-----
Pagi itu, kulihat sms dan kubaca :
“Lupakan masalah coklat, Loom,
Jika kamu ingin menyerah tak apa, aku juga akan menyerah dan tidak memaksakan keadaan.
Mungkin sudah cukup cinta cintaanya, sekarang fokus kuliah dulu :) semangat Loom”


Aku terpaku membaca pesan itu. Merenung. dan pasrah. Ibaratnya saat aku berusaha mengambil sebuah tanaman obat di atas gunung untuk sebuah suku. Sesampainya dipuncak, didekat dengan tanaman itu. Aku dipaksa kembali oleh penduduk sekitar. Aku dipaksa kembali setelah berusaha naik dan mereka berkata “kembalilah ,kami sudah siap menerima nasib suku kami”. Mendengar itu aku terdiam, merenung, “untuk apa?” kata itulah yang berada di pikiranku mulai saat itu. Aku terdiam di puncak itu, sembunyi diatara semak atau diatas pohon. Menuggu orang nekat lain yang mencoba naik kepuncak.
    Mungkin inilah hidupku , saat benar-benar ingin melakukan sesuatu, selalu saja ada hal yang membuatku kecewa. Ada saja hal yang membuatku untuk menyerah. Tetapi apakah aku menyerah? Tidak.Aku tidak menyerah. Aku mengambil tanaman itu , kusimpan , dan turun dari gunung itu dengan luka dari usaha naik gunung tersebut. Kusimpan tanaman itu, kusimpan, hingga suatu saat ketika mereka membutuhkannya, Jika saat itu aku masih disana, dengan senang hati kuberikan tanaman itu. Dan walaupun saat mereka membutuhkannya ,dan aku tidak disana, aku hanya berharap ada seseorang yang cukup bodoh untuk mengambil tanaman itu lagi demi penduduk suku itu.
    Karena yang kutakutkan bukanlah karena aku melakukan suatu hal yang sia-sia. Tetapi akibat apa yang didapat orang lain karena aku melakukan suatu hal.

*             ”-----------“    = skip


Aku terpaku setelah membaca dari awal sampai akhir, tanganku dingin. Ada beberapa yang tidak aku mengerti. Aku hanya diam selama latihan, tak ada tegur sapa diantara kita, tangan pun enggan untuk berjabat. Senyumnya dipaksakan untukku. Secepat iti Aloom berubah. Aku paham sakitnya karena aku juga mersakan sakit itu. rasanya sangat sesak. Sesak yang kubuat sendiri.
Sepulang latihan aku menanyakannya pada Aloom. Dengan terbata-bata tak tahu bagaimana aku mengawalinya aku memaksa untuk bertanya. Langkahku tersendat karena wajahnya begitu ketus saat melihatku, hatiku menciut dan aku tidak berani mendekatinya. Tapi aku seperti butuh penjelasan.
“Loom ada beberapa kalimat yang ku gak paham”.
“Who cares!” Ketus Aloom
“Apa?”
“WHO CARES!!!” Dia menjawabnya dengan tegas dan jelas. Sangat jelas hingga membuat aku kaget, seperti ada yang meledak di dalam hatiku. Aku langsung masuk ke dalam. Mataku meleleh. Aku tak sanggup menahan lelehnya.
“Al kamu kenapa kok cemberut? Pelatih galak bisa juga cemberut” Tanya Bang Anin.
“Hehe gapapa Bang,  Bang pulang kapan? Ayuk pulang aku mau nebeng.”
Aku tidak tahan lagi tiba-tiba saja airmataku keluar. Segera kuhapus dan kususul Mas Anin keluar. Sekarang aku sudah paham semua kalimat-kalimat itu. Aku tidak perlu lagi penjelasan darinya. Sepanjang jalan airmataku tidak bisa kubendung.
"Sudahlah tuhaaan. Apakah aku jahat jika peduli dengan oranglain?”
“Aku hanya tidak tahu harus bagaimana. Semua orang sudah tidak suka lagi pada Alba”
"Alba memang tidak konsisten, Ingin lepas tapi tidak ingin berpisah".
Who cares? No one Cares about me


Komentar