Pelangi Setelah Hujan
by Fitri

Hidup adalah perjuangan. Perjuangan yang memang seharusnya di perjuangkan dengan berbagai pilihan. Sebagai manusia yang normal sudah semestinya menginginkan kehidupan yang layak, damai, sejahtera, dan terkadang
seperti di dunia dongeng. Namun hidup di dunia nyata sejatinya sangat berbeda dengan dunia dongeng, imajinasi kita. Banyak pengorbanan yang dipertaruhkan di sini. Meskipun begitu, dunia yang kita inginkan akan ada dalam genggaman siapa-siapa yang mau menggenggamnya dengan mimpi, semangat dan perjuangan.
***
“kriiiing….” Suara alaram berbunyi dengan kerasnya hingga aku terbangun dari tidur nyenyakku. Waktu menunjukan pukul 03.00 WIB. Ketika aku benar-benar  membuka mata, tak kusadari ternyata aku telah berada di tempat yang berbeda dari tempat yang kemarin ku singgahi untuk merebahkan tubuh. Aku menatap ke sekeliling ruang empat kali empat meter ini, di sisi tampak dua tubuh yang tertidur dengan lelapnya, yang satu sedang memeluk boneka kodoknya dan yang satunya lagi tergeletak tanpa selimut. Aku melongokkan leher  keatas sambil melihat langit-langit kamar 4A04 ini. Terbayang di benakku sosok Ibu tersayang yang ku rindukan. Biasanya pada jam-jam segini Ibu membangunkanku untuk menjalankan sholat tahajjud bersama. Dulu aku selalu berdoa meminta kepada Allah agar aku dapat melanjutkan kuliah, meskipun rasanya itu sangat tidak mungkin. Bagaimana tidak ? Aku adalah anak terakhir  dari empat bersaudara, kakak pertama dan ketigaku hanya lulusan SLTP meskipun keduanya termasuk golongan orang-orang yang pintar,bahkan jauh dari kemampuanku, Bapak tidak mengizinkan mereka berdua untuk lanjut ke jenjang SLTA. Lain nasibnya dengan kakakku yang nomor dua, dia lulusan SMK Bapak membolehkannya untuk melanjutkan studi dengan alasan, dia seorang laki-laki. Perbedaan gender memang sangat terlihat di dalam keluargaku. Dan hal itulah yang membuatku berpikir bahwa melanjutkan sekolah, apalagi kuliah adalah sebuah mimpi yang tidak bisa di genggam, bak menggenggam air. Bapak adalah sosok yang sangat sangat dihormati dalam keluarga kami. Kami sebagai anak tidak pernah sekali pun menyelewengkan kata-kata beliau.  Beliau adalah seseorang yang ber-aliran keras dalam hal apapun. Dan hal itu lah yang membuat anak-anaknya menjadi sosok yang selalu menghormati orangtua, meskipun berawal dari sebuah rasa takut.
***
Ketika itu aku masih duduk di bangku SMP. Saat sedang berlangsung acara pengambilan raport akhir semester kelas VIII, aku kebingungan mencari wali untuk mengambilkan raportku. Sebenarnya aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Aku maklum jika Bapak tidak bisa hadir untuk mengambilkan raport anaknya, karena waktu itu memang beliau sedang mencari nafkah untuk keluarga di sawah. Akhirnya aku mendapati Bu Lek yang sedang mengambilkan raport anaknya yang sekarang duduk di kelas IX, Bu Lek mau mengambilkan raportku, alangkah senangnya ketika namaku di panggil oleh wali kelas, Bu jum namanya, “Alba vahira ! ” Bu lek maju ke depan “  selamat ya Bu’ putri Anda berhasil mendapatkan rangking 1 ”. Seketika Bu Lek menoleh kearahku yang sedang ngumpet di belakang pintu kelas dengan tersenyum lebar. Senyum Bu lek yang lebar itu membuatku merasa ingin cepat-cepat pulang dan memberi kabar gembira ini ke Ibu dan Bapak. Aku tidak sabar melihat senyum gembira Ibu untukku, dan senyum Bapak sebagai sedikit penghilang lelah karena seharian kerja di sawah. Sesampainya di rumah ternyata tidak ada orang sama sekali. Padahal aku begitu antusias mengabarkan hal ini. Lalu dari kejauhan aku melihat Melia anak Bu Lek, menghampiriku. Aku baru ingat kalau besok ada hajatan di rumah Mbah, jadi pantas saja jika rumah sepi begini. Seperti tebakanku Melia datang untuk menjemputku. Akhirnya kami bersama-sama berangkat menuju rumah mbah. Waktu itu aku memang sengaja tidak ganti baju bukannya jorok, tapi memang aku sangat suka dan menikmati sekali ketika memakai seragam sekolah. Sampai di rumah mbah, aku di sambut oleh para Bu lek, dan sepupu. Wajah mereka berbinar bahagia seolah mengiringi kebahagiaanku. Ibu yang baru datang, tiba-tiba memelukku, “selamat ya nak, terimakasih ya Allah sudah mengabulkan doa-doa kami”. Mendengar ibu berkata seperti itu, tiba-tiba saja air mataku berlinang tak tertahankan. “jangan nangis dong, masak dapat rangking satu nangis, aku aja yang gak dapat rangking gak nangis kok”. Mendengar ucapan Melia memecah tawa para Bu lek. Aku tersenyum dan merangkul Melia. Suasana pun menjadi hening kembali ketika salah satu dari sepupuku berkata,
”sebaiknya Alba ini benar-benar diperjuangkan sekolahnya Bu De, sampai kuliah, sampai dia jadi orang, sayang banget kan kalo gak di sekolahkan”. Aku langsung menatap Ibu terdiam yang menampakan wajah yang belum pernah Aku melihat ekspresi semacam itu. Hatiku rasanya sakit melihat Ibu seperti itu.
***
Lulusan SMP. Ketika teman-teman sibuk mencari sekolah baru, aku hanya termenung diam mendengarkan cerita sahabat-sahabatku tentang masa depan dan sekolah baru yang akan mereka daftari. Entah kenapa aku tak bernafsu untuk menjadi sesibuk mereka. Masa depanku seakan-akan sudah bisa Aku prediksi, mengingat Bapakku yang begitu keras terhadap anak-anaknya. “Alba kok diem aja, kamu mo daftar di mana ?” Tanya Rada salah satu sahabat terbaikku. “Heh ? palingan aku dikirim ke Pondok Pesantren kok Rad” Jawabku dengan nada yang seakan acuh terhadap duniaku sendiri. Aku pulang dengan wajah yang muram. Ingin sekali rasannya berbicara sama Bapak kalau aku benar-benar ingin melanjutkan ke SMA dan aku tidak berani. Semenjak saat itu aku lebih sering mengurung diri di kamar berharap ada rasa kepekaan Ibu muncul dan membujuk Bapak agar Aku diperbolehkan untuk sekolah.
Minggu. Para tetangga berkumpul di depan rumahku untuk berbelanja, rumahku adalah  tempat pemberhentian warung keli. Jadi tidak heran jika pagi begini rumahku diramaikan oleh para Ibu-Ibu yang akan berbelanja. Di mana ada Ibu-Ibu di situ pasti ada gosip. Begitulah kiranya yang terjadi. Topik  bahasan kali ini lagi-lagi masalah sekolah, anak Bu Lek dari keluarga Bapak, rata-rata melanjutkan sekolah sampai kuliah bahkan sudah ada yang menjadi guru. Pak De dari keluarga Bapak selalu memojokkan keluargaku katanya keluargaku adalah keluarga yang mubadzir. Dia selalu memegah-megahkan keluargannya di depan kami. Sebenarnya dalam benakku itu merupakan dorongan besar, ingin rasanya aku membuktikan pada mereka kalau di keluargaku juga ada yang kuliah, juga ada yang menjadi orang, keluargaku juga bisa, dan sekarang Aku masih muram di kamar. Rasanya aku benar-benar tidak berdaya untuk wujudkan mimpi.   Nahloh buat lanjut ke SMK saja tidak bisa. Aku ingin lanjut ke SMK dengan begitu setelah lulus nanti Aku bisa bekerja dulu baru habis itu aku bisa melanjutkan kuliah. Bukankah SMK menyiapkan pribadi yang siap kerja ? pikirku begitu. Tidak lama kemudian Ibu mengetuk pintu kamar, dan memberiku tawaran antara sekolah atau mondok. Mendengar tawaran Ibuku, aku seperti terjun dari paralayang yang tingginya mencapai ratusan meter. Rasa senangnya tidak bisa di gambarkan. Tanpa berpikir panjang aku langsung menjawab ”Sekolah,, !!” Ibu tersenyum melihat tingkahku yang masih kanak-kanak. Harapan baru bagiku seolah lahir ke dunia ini, memberiku sejuta pilihan untuk masa depan.
***
SMA. Babak baru dalam duniaku dimulai, ternyata aku tidak jadi ke SMK seperti rencana awal. Tidak dapat di pungkiri bahwa akulah satu-satunya anak perempuan Bapak yang melanjutkan hingga ke SMA. Dan itu membuat kakak-kakak perempuanku yang lain cemburu. Meskipun begitu mereka terus mendukungku untuk mencari ilmu, menjadi orang yang sukses dan dapat membahagiakan Bapak dan Ibu. Kakak-kakakku lah yang menyuruhku untuk melanjutkan ke SMA. Mereka bilang, “ siapa yang tahu masa depan ? masa depan bukankah sudah ada yang mengatur ? toh kamu sudah membuktikannya sendiri. Anak perempuan dari Bapak Al-Ahmad melanjutkan ke SMA. Itu adalah salah satu hal yang sangat patut untuk digaris bawahi. Tidak menutup kemungkinan kalau kamu nanti bisa kuliah”. Mulai dari situ Aku yakin bahwa masa depan memang sudah ada yang mengatur,kita tinggal menjalani dan melanjutkannya sesuai dengan usaha apa  yang telah kita lakukan. Di SMA semangat mencari ilmuku benar-benar menggebu-gebu. Persaingan untuk menjadi yang terbaik tidak semudah membalikkan telapak tangan,tidak semudah saat aku masih berada di SMP. Banyak gangguan yang datang ketika SMA, mulai dari persahabatan, cinta dan lain sebagainya. Syukurlah dua tahun di SMA Aku mendapatkan prestasi yang lumayan bagus, setidaknya aku pernah mendapatkan rangking paralel. Dua tahun di SMA membuatku semakin ingin melanjutkan kuliah. Hal itu muncul ketika guruku bilang, “ Jika penghalang menuntut ilmu adalah masalah materi, itu hanyalah alasan yang sangat sepele. Dan memang benar-benar bukan suatu alasan yang bijak. Zaman sekarang itu beasiswa ada banyak jadi tidak perlu khawatir ataupun risau. Pemerintah sudah menyiapkan banyak beasiswa bagi anak-anak tidak mampu, khususnya yang berprestasi. Salah satunya adalah bidikmisi. Itu adalah beasiswa penuh yang khusus diperuntukan bagi anak-anak berprestasi yang tidak mampu” Kata Pak Lutfi guru BK yang mengurusi anak-anak bermasalah di kelasku. Semenjak mendengar ucapan Pak Lutfi aku semakin yakin dan bersemangat untuk melanjutkan kuliah. Ketika semangatku mencapai klimaks, keluargaku diberi cobaan yang cukup berat. Kakakku yang nomor tiga mengidap penyakit batu empedu, kakak ke-duaku pun sakit setelah di cek ternyata liver kronis, keduannya dirawat di rumah sakit. Memikirkan bagaimana menutupi biaya perawatan untuk kedua kakakku itu tidak lama kemudian Ibuku jatuh sakit dan divonis terkena penyakit diabetes mellitus. Mengetahui kabar tersebut kakak pertamaku yang ada di Batang datang ke Kendal dalam kondisi hamil. Di jalan ia dan suaminya kecelakaan dan terdapat gangguan dalam kandungannya. Semua peristiwa itu mengakibatkan Bapak over protektif terhadapku. Aku harus tetap di rumah dan tidak di izinkan untuk pergi ke mana yang ku mau tidak termasuk sekolah. Karena semua peristiwa itu, keluargaku mengalami kesulitan keuangan. Bapak hutang di mana-mana. Hingga pikirku untuk melanjutkan studi pun goyah.
***
Kelas XII. Alhamdulillah kakak-kakakku sudah sembuh, hanya saja Ibuku masih sakit dan setiap bulan harus kontrol di rumah sakit. Dan setiap harinya harus disuntik dengan insulin. Tubuh Ibu sekarang ini menjadi menyusut dan semakin menyusut aku hampir tidak ingat bagaimana rupa Ibuku yang dulu. Ibuku yang selalu bersemangat, yang wajahnya selalu berseri setiap bersama anak-anaknya, Ibu dengan tubuh yang bugar, yang selalu optimis dan selalu memberiku semangat maju ke depan. Saat ini keadaan sudah sangat berubah. Kakak-kakak yang dulu selalu mendukungku untuk terus bersemangat mengejar impian, Ibu yang selalu memberi motivasi pantang menyerah dan bersabar dalam menghadapi kerasnya Bapak, kini tidak ada lagi. Kakak-kakakku sekarang justru selalu membuatku merasa bersalah terhadap Ibu, Aku tidak di dukung lagi untuk studi lanjut, mereka semua menyarankanku untuk bekerja setelah lulus nanti. Ibuku pun demikian ia tidak pernah lagi menanyaiku tentang sekolah, setiap kali bertatap muka ia selalu bercerita tentang anak-anak tetangga yang sudah bekerja. Saat itu aku benar-benar mengalir mengikuti alur hidupku, namun mimpi akan selalu ada dalam hatiku. Tentu saja Bapakku tidak ada masalah tentang semua peristiwa ini. Di sini aku seperti kaktus yang hidup di sungai. Untuk itu Aku selalu menyibukkan diri di sekolah. Di sekolah, anak-anak sudah sibuk menyiapkan syarat-syarat untuk mendaftar kuliah. Saat Pak Lutfi masuk ke kelas dan menawarkan beasiswa bidikmisi kepada semua anak, Aku adalah anak pertama yang mengacungkan tangan. Diikuti dengan teman-teman lain yang memang sudah siap. Tiket password bidikmisi pun di bagikan. Memang di rumah tidak ada yang mendukungku sama sekali. Namun di sini ada Pak Lutfi yang siap membantu dan teman-teman yang selalu mendukung serta memberiku motivasi. Pendaftaran pertama yaitu jalur SNMPTN semua serentak mendaftar dengan di fasilitasi laptop serta modem dari sekolah. Semua senang, bahkan banyak dari teman-teman yang sudah membayangkan bagaimana asiknya kuliah nanti. Ketika itu Pak Lutfi membawa selebaran tentang Sekolah Vokasi UGM lewat jalur prestasi.aku dan Dea temanku mendaftar, selain itu aku juga mendaftar SBMPTAIN. Aku mendaftar sekolah diam-diam tanpa memberitahukan atau izin terlebih dahulu kepada Ayah, Ibu dan keluarga. Alhasil pengumuman pertama yaitu Sekolah Vokasi UGM. Aku tidak sabar menantikan hasilnya dan ternyata hasilnya nihil. Aku gagal, aku menangis seharian di kamar hingga mengundang kedatangan Ibu ke kamarku. Aku ditanyai mengapa aku menangis, aku tidak menjawab. Karena aku takut jika Ibuku marah, melihatku seperti ini sepertinya Ibuku merasa iba” Sabar nduk.. semua sudah ada yang mengatur.. jika kamu ingin berhasil kamu harus kuat dan tabah”. Mendengar ucapan Ibu, sepertinya ia tahu aku menangis karena apa,tapi entahlah. Intinya momen seperti ini akan sangat sayang jika tidak segera dimanfaatkan.”Aku boleh kuliah Bu ?” Tanyaku.”Siapa yang tidak membolehkanmu ? terserah padamu kamu ingin apa saja, hidupmu ada di tanganmu. Ibu dan Bapak akan membantu semampu kami. Tapi jika untuk menyiapkan biaya kuliah, sepertinya itu terlalu sulit untuk kita nduk, kamu tahu sendiri kan bagaimana kondisi kita sekarang ini ?”. Aku benar-benar tahu bagaimana kondisi keluarga ini. Memang semua membutuhkan uang, tapi yang benar-benar aku butuhkan saat ini adalah dukungan keluarga. Aku masih punya tiket bidikmisi dari pemerintah dan aku sangat bersyukur karena hal itu. Akhirnya pengumuman demi pengumuman Aku lalui dengan kegagalan. Aku hampir putus asa karenanya. Sudah banyak strategi yang ku curahkan untuk mendaftar. Bukan hanya sekedar berusaha, tapi juga berdoa semua sudah ku lakukan tapi tetap saja hasilnya nihil. Aku tidak diterima di mana-mana. Aku selalu berpikir mana dan apa yang kurang dari semua ini ?. Terakhir adalah pengumuman SBMPTN. Banyak teman-teman yang diterima, tapi tidak untukku. Aku pulang dengan ekspresi yang datar, karena sudah terbiasa dengan kegagalan. Usai menengok pengumuman aku pulang, tepatnya ba’da maghrib. Aku membuka pintu rumah. Di dalam sudah ada Bapak dan Ibu menyambutku. Sebelumnya, di warnet aku sudah mengabari mereka kalau aku gagal lagi.”Sabar nduk, yang tabah rizki sudah ada yang mengatur” Dengan suara yang lembut Bapakku berkata demikian. Aku mulai lemas dan akhirnya tumpah juga air mata ini. Bukan karena aku gagal, tapi karena ucapan Bapak yang memang baru pertama kali ini Aku mendengarnya. Suaranya lembut dan begitu jelas. Aku langsung menghampiri Bapak dan bersalaman, Aku mengucapkan terimakasih dan mohon doa restu dari Bapak. Ibuku ikut terharu melihatku seperti itu. Alhamdulillah ya Allah ini benar-benar ba’da maghrib terindah dalam hidupku.
***
Kesempatan terakhir. Mulai dari Sekolah Vokasi, SNMPTN, SBMPTAIN, SBMPTN, UM UGM, semuanya gagal dan ini yang terakhir adalah SPMU. Untuk mendaftar ini aku sudah mendapat doa restu dari Bapak dan Ibu. Aku benar-benar pasrah. Aku tahu penyebab kegagalan yang dulu-dulu. Mungkin dulu Aku terlalu sombong, terlalu tidak hati-hati, belum ikhlas, dan pasrah. SPMU Aku di daftarkan sahabat, kartunya dicetakkan Pak Lutfi dan pengumuman di tengokkan adik sepupu. Di sini Aku benar-benar tidak modal, dan pasrah. Akhirnya Aku lolos. Sujud syukurku di rumah Pak Lek dari keluarga Ibu. Aku sangat berbahagia, terlebih Aku mendaftar lewat bidikmisi dan mimpiku untuk melanjutkan studi hingga perguruan tinggi benar-benar terwujud salah satunya karena bidikmisi ini. Ibu dan Bapak tidak perlu susah payah memikirkan dan mengeluarkan uang banyak untukku, kakak-kakakku pun tersenyum dan kembali merangkulku. Keluarga besar Bapak dan Ibu pun ikut bergembira. Benar kata seseorang di saat kita terjatuh di dasar lembah sekalipun Allah akan tetap membantu kita, kita yang mau berdoa mengharapkan bantuannya. Dan jalan keluar itu pasti ada.
***
“Kriiiinnnng…. !!” Bel asrama yang mirip suara alaram pemadam kebakaran berbunyi dengan kerasnya, sontak aku kaget dan tersadar dari lamunanku, menandakan subuh sudah tiba. Semua anak di kamar bangun dan bersiap-siap untuk sholat dan mandi. Begitu juga dengan diriku. Aku tersenyum sendiri, tidak terasa ternyata Aku sudah menjadi seorang mahasiswa, dan kebanggaan tersendiri menjadi mahasiswa bidikmisi. Aku akan terus melanjutkan perjuangan hidup ini dengan mimpi. Bukan mimpi yang seperti air digenggam, namun mimpi yang seperti hujan yang terus mengguyuri duniaku. Dan dengan bantuan cahaya matahari mimpi itu menjadi seindah pelangi. Dengan bidikmisi Aku akan meraih asa ku.”BIDIKMISI ! PRESTASI,, !!”. J
BERSAMBUNG

Komentar