Hidup adalah perjuangan. Perjuangan yang
memang seharusnya di perjuangkan dengan berbagai pilihan. Sebagai manusia yang
normal sudah semestinya menginginkan kehidupan yang layak, damai, sejahtera, dan
terkadang
seperti di dunia dongeng. Namun hidup di dunia nyata sejatinya sangat berbeda dengan dunia dongeng, imajinasi kita. Banyak pengorbanan yang dipertaruhkan di sini. Meskipun begitu, dunia yang kita inginkan akan ada dalam genggaman siapa-siapa yang mau menggenggamnya dengan mimpi, semangat dan perjuangan.
seperti di dunia dongeng. Namun hidup di dunia nyata sejatinya sangat berbeda dengan dunia dongeng, imajinasi kita. Banyak pengorbanan yang dipertaruhkan di sini. Meskipun begitu, dunia yang kita inginkan akan ada dalam genggaman siapa-siapa yang mau menggenggamnya dengan mimpi, semangat dan perjuangan.
***
“kriiiing….” Suara alaram berbunyi
dengan kerasnya hingga aku terbangun dari tidur nyenyakku. Waktu menunjukan
pukul 03.00 WIB. Ketika aku benar-benar membuka mata, tak kusadari ternyata aku telah
berada di tempat yang berbeda dari tempat yang kemarin ku singgahi untuk
merebahkan tubuh. Aku menatap ke sekeliling ruang empat kali empat meter ini,
di sisi tampak dua tubuh yang tertidur dengan lelapnya, yang satu sedang
memeluk boneka kodoknya dan yang satunya lagi tergeletak tanpa selimut. Aku melongokkan
leher keatas sambil melihat
langit-langit kamar 4A04 ini. Terbayang di benakku sosok Ibu tersayang yang ku
rindukan. Biasanya pada jam-jam segini Ibu membangunkanku untuk menjalankan
sholat tahajjud bersama. Dulu aku selalu berdoa meminta kepada Allah agar aku
dapat melanjutkan kuliah, meskipun rasanya itu sangat tidak mungkin. Bagaimana
tidak ? Aku adalah anak terakhir dari
empat bersaudara, kakak pertama dan ketigaku hanya lulusan SLTP meskipun
keduanya termasuk golongan orang-orang yang pintar,bahkan jauh dari
kemampuanku, Bapak tidak mengizinkan mereka berdua untuk lanjut ke jenjang
SLTA. Lain nasibnya dengan kakakku yang nomor dua, dia lulusan SMK Bapak
membolehkannya untuk melanjutkan studi dengan alasan, dia seorang laki-laki.
Perbedaan gender memang sangat terlihat
di dalam keluargaku. Dan hal itulah yang membuatku berpikir bahwa melanjutkan sekolah,
apalagi kuliah adalah sebuah mimpi yang tidak bisa di genggam, bak menggenggam
air. Bapak adalah sosok yang sangat sangat dihormati dalam keluarga kami. Kami
sebagai anak tidak pernah sekali pun menyelewengkan kata-kata beliau. Beliau adalah seseorang yang ber-aliran keras
dalam hal apapun. Dan hal itu lah yang membuat anak-anaknya menjadi sosok yang
selalu menghormati orangtua, meskipun berawal dari sebuah rasa takut.
***
Ketika itu aku masih duduk di bangku SMP.
Saat sedang berlangsung acara pengambilan raport akhir semester kelas VIII, aku
kebingungan mencari wali untuk mengambilkan raportku. Sebenarnya aku sudah
terbiasa dengan hal seperti ini. Aku maklum jika Bapak tidak bisa hadir untuk
mengambilkan raport anaknya, karena waktu itu memang beliau sedang mencari
nafkah untuk keluarga di sawah. Akhirnya aku mendapati Bu Lek yang sedang
mengambilkan raport anaknya yang sekarang duduk di kelas IX, Bu Lek mau
mengambilkan raportku, alangkah senangnya ketika namaku di panggil oleh wali
kelas, Bu jum namanya, “Alba vahira ! ” Bu lek maju ke depan “ selamat ya Bu’ putri Anda berhasil
mendapatkan rangking 1 ”. Seketika Bu Lek menoleh kearahku yang sedang ngumpet
di belakang pintu kelas dengan tersenyum lebar. Senyum Bu lek yang lebar itu
membuatku merasa ingin cepat-cepat pulang dan memberi kabar gembira ini ke Ibu
dan Bapak. Aku tidak sabar melihat senyum gembira Ibu untukku, dan senyum Bapak
sebagai sedikit penghilang lelah karena seharian kerja di sawah. Sesampainya di
rumah ternyata tidak ada orang sama sekali. Padahal aku begitu antusias
mengabarkan hal ini. Lalu dari kejauhan aku melihat Melia anak Bu Lek,
menghampiriku. Aku baru ingat kalau besok ada hajatan di rumah Mbah, jadi
pantas saja jika rumah sepi begini. Seperti tebakanku Melia datang untuk
menjemputku. Akhirnya kami bersama-sama berangkat menuju rumah mbah. Waktu itu
aku memang sengaja tidak ganti baju bukannya jorok, tapi memang aku sangat suka
dan menikmati sekali ketika memakai seragam sekolah. Sampai di rumah mbah, aku
di sambut oleh para Bu lek, dan sepupu. Wajah mereka berbinar bahagia seolah
mengiringi kebahagiaanku. Ibu yang baru datang, tiba-tiba memelukku, “selamat
ya nak, terimakasih ya Allah sudah mengabulkan doa-doa kami”. Mendengar ibu
berkata seperti itu, tiba-tiba saja air mataku berlinang tak tertahankan.
“jangan nangis dong, masak dapat rangking satu nangis, aku aja yang gak dapat
rangking gak nangis kok”. Mendengar ucapan Melia memecah tawa para Bu lek. Aku
tersenyum dan merangkul Melia. Suasana pun menjadi hening kembali ketika salah
satu dari sepupuku berkata,
”sebaiknya Alba ini benar-benar diperjuangkan sekolahnya Bu De, sampai kuliah, sampai
dia jadi orang, sayang banget kan kalo gak di sekolahkan”. Aku langsung menatap
Ibu terdiam yang menampakan wajah yang belum pernah Aku melihat ekspresi
semacam itu. Hatiku rasanya sakit melihat Ibu seperti itu.
***
Lulusan SMP. Ketika teman-teman sibuk
mencari sekolah baru, aku hanya termenung diam mendengarkan cerita
sahabat-sahabatku tentang masa depan dan sekolah baru yang akan mereka daftari.
Entah kenapa aku tak bernafsu untuk menjadi sesibuk mereka. Masa depanku
seakan-akan sudah bisa Aku prediksi, mengingat Bapakku yang begitu keras
terhadap anak-anaknya. “Alba kok diem aja, kamu mo daftar di mana ?” Tanya Rada
salah satu sahabat terbaikku. “Heh ? palingan aku dikirim ke Pondok Pesantren
kok Rad” Jawabku dengan nada yang seakan acuh terhadap duniaku sendiri. Aku
pulang dengan wajah yang muram. Ingin sekali rasannya berbicara sama Bapak
kalau aku benar-benar ingin melanjutkan ke SMA dan aku tidak berani. Semenjak
saat itu aku lebih sering mengurung diri di kamar berharap ada rasa kepekaan
Ibu muncul dan membujuk Bapak agar Aku diperbolehkan untuk sekolah.
Minggu.
Para tetangga berkumpul di depan rumahku untuk berbelanja, rumahku adalah tempat pemberhentian warung keli. Jadi tidak heran jika pagi begini rumahku diramaikan
oleh para Ibu-Ibu yang akan berbelanja. Di mana ada Ibu-Ibu di situ pasti ada
gosip. Begitulah kiranya yang terjadi. Topik
bahasan kali ini lagi-lagi masalah sekolah, anak Bu Lek dari keluarga
Bapak, rata-rata melanjutkan sekolah sampai kuliah bahkan sudah ada yang menjadi
guru. Pak De dari keluarga Bapak selalu memojokkan keluargaku katanya
keluargaku adalah keluarga yang mubadzir. Dia selalu memegah-megahkan
keluargannya di depan kami. Sebenarnya dalam benakku itu merupakan dorongan
besar, ingin rasanya aku membuktikan pada mereka kalau di keluargaku juga ada
yang kuliah, juga ada yang menjadi orang, keluargaku juga bisa, dan sekarang Aku
masih muram di kamar. Rasanya aku benar-benar tidak berdaya untuk wujudkan
mimpi. Nahloh buat lanjut ke SMK saja
tidak bisa. Aku ingin lanjut ke SMK dengan begitu setelah lulus nanti Aku bisa
bekerja dulu baru habis itu aku bisa melanjutkan kuliah. Bukankah SMK
menyiapkan pribadi yang siap kerja ? pikirku begitu. Tidak lama kemudian Ibu
mengetuk pintu kamar, dan memberiku tawaran antara sekolah atau mondok.
Mendengar tawaran Ibuku, aku seperti terjun dari paralayang yang tingginya
mencapai ratusan meter. Rasa senangnya tidak bisa di gambarkan. Tanpa berpikir
panjang aku langsung menjawab ”Sekolah,, !!” Ibu tersenyum melihat tingkahku
yang masih kanak-kanak. Harapan baru bagiku seolah lahir ke dunia ini,
memberiku sejuta pilihan untuk masa depan.
***
SMA. Babak baru dalam duniaku dimulai,
ternyata aku tidak jadi ke SMK seperti rencana awal. Tidak dapat di pungkiri
bahwa akulah satu-satunya anak perempuan Bapak yang melanjutkan hingga ke SMA.
Dan itu membuat kakak-kakak perempuanku yang lain cemburu. Meskipun begitu
mereka terus mendukungku untuk mencari ilmu, menjadi orang yang sukses dan
dapat membahagiakan Bapak dan Ibu. Kakak-kakakku lah yang menyuruhku untuk melanjutkan
ke SMA. Mereka bilang, “ siapa yang tahu masa depan ? masa depan bukankah sudah
ada yang mengatur ? toh kamu sudah membuktikannya sendiri. Anak perempuan dari
Bapak Al-Ahmad melanjutkan ke SMA. Itu adalah salah satu hal yang sangat patut
untuk digaris bawahi. Tidak menutup kemungkinan kalau kamu nanti bisa kuliah”.
Mulai dari situ Aku yakin bahwa masa depan memang sudah ada yang mengatur,kita
tinggal menjalani dan melanjutkannya sesuai dengan usaha apa yang telah kita lakukan. Di SMA semangat
mencari ilmuku benar-benar menggebu-gebu. Persaingan untuk menjadi yang terbaik
tidak semudah membalikkan telapak tangan,tidak semudah saat aku masih berada di
SMP. Banyak gangguan yang datang ketika SMA, mulai dari persahabatan, cinta dan
lain sebagainya. Syukurlah dua tahun di SMA Aku mendapatkan prestasi yang
lumayan bagus, setidaknya aku pernah mendapatkan rangking paralel. Dua tahun di
SMA membuatku semakin ingin melanjutkan kuliah. Hal itu muncul ketika guruku
bilang, “ Jika penghalang menuntut ilmu adalah masalah materi, itu hanyalah
alasan yang sangat sepele. Dan memang benar-benar bukan suatu alasan yang
bijak. Zaman sekarang itu beasiswa ada banyak jadi tidak perlu khawatir ataupun
risau. Pemerintah sudah menyiapkan banyak beasiswa bagi anak-anak tidak mampu,
khususnya yang berprestasi. Salah satunya adalah bidikmisi. Itu adalah beasiswa
penuh yang khusus diperuntukan bagi anak-anak berprestasi yang tidak mampu”
Kata Pak Lutfi guru BK yang mengurusi anak-anak bermasalah di kelasku. Semenjak
mendengar ucapan Pak Lutfi aku semakin yakin dan bersemangat untuk melanjutkan
kuliah. Ketika semangatku mencapai klimaks, keluargaku diberi cobaan yang cukup
berat. Kakakku yang nomor tiga mengidap penyakit batu empedu, kakak ke-duaku
pun sakit setelah di cek ternyata liver kronis, keduannya dirawat di rumah
sakit. Memikirkan bagaimana menutupi biaya perawatan untuk kedua kakakku itu
tidak lama kemudian Ibuku jatuh sakit dan divonis terkena penyakit diabetes mellitus. Mengetahui kabar tersebut
kakak pertamaku yang ada di Batang datang ke Kendal dalam kondisi hamil. Di
jalan ia dan suaminya kecelakaan dan terdapat gangguan dalam kandungannya.
Semua peristiwa itu mengakibatkan Bapak over protektif terhadapku. Aku harus
tetap di rumah dan tidak di izinkan untuk pergi ke mana yang ku mau tidak
termasuk sekolah. Karena semua peristiwa itu, keluargaku mengalami kesulitan
keuangan. Bapak hutang di mana-mana. Hingga pikirku untuk melanjutkan studi pun
goyah.
***
Kelas XII.
Alhamdulillah kakak-kakakku sudah sembuh, hanya saja Ibuku masih sakit dan
setiap bulan harus kontrol di rumah sakit. Dan setiap harinya harus disuntik
dengan insulin. Tubuh Ibu sekarang ini menjadi menyusut dan semakin menyusut aku
hampir tidak ingat bagaimana rupa Ibuku yang dulu. Ibuku yang selalu
bersemangat, yang wajahnya selalu berseri setiap bersama anak-anaknya, Ibu
dengan tubuh yang bugar, yang selalu optimis dan selalu memberiku semangat maju
ke depan. Saat ini keadaan sudah sangat berubah. Kakak-kakak yang dulu selalu
mendukungku untuk terus bersemangat mengejar impian, Ibu yang selalu memberi
motivasi pantang menyerah dan bersabar dalam menghadapi kerasnya Bapak, kini
tidak ada lagi. Kakak-kakakku sekarang justru selalu membuatku merasa bersalah
terhadap Ibu, Aku tidak di dukung lagi untuk studi lanjut, mereka semua
menyarankanku untuk bekerja setelah lulus nanti. Ibuku pun demikian ia tidak
pernah lagi menanyaiku tentang sekolah, setiap kali bertatap muka ia selalu
bercerita tentang anak-anak tetangga yang sudah bekerja. Saat itu aku
benar-benar mengalir mengikuti alur hidupku, namun mimpi akan selalu ada dalam
hatiku. Tentu saja Bapakku tidak ada masalah tentang semua peristiwa ini. Di
sini aku seperti kaktus yang hidup di sungai. Untuk itu Aku selalu menyibukkan
diri di sekolah. Di sekolah, anak-anak sudah sibuk menyiapkan syarat-syarat
untuk mendaftar kuliah. Saat Pak Lutfi masuk ke kelas dan menawarkan beasiswa
bidikmisi kepada semua anak, Aku adalah anak pertama yang mengacungkan tangan.
Diikuti dengan teman-teman lain yang memang sudah siap. Tiket password bidikmisi pun di bagikan.
Memang di rumah tidak ada yang mendukungku sama sekali. Namun di sini ada Pak
Lutfi yang siap membantu dan teman-teman yang selalu mendukung serta memberiku
motivasi. Pendaftaran pertama yaitu jalur SNMPTN semua serentak mendaftar
dengan di fasilitasi laptop serta modem dari sekolah. Semua senang, bahkan
banyak dari teman-teman yang sudah membayangkan bagaimana asiknya kuliah nanti.
Ketika itu Pak Lutfi membawa selebaran tentang Sekolah Vokasi UGM lewat jalur
prestasi.aku dan Dea temanku mendaftar, selain itu aku juga mendaftar SBMPTAIN.
Aku mendaftar sekolah diam-diam tanpa memberitahukan atau izin terlebih dahulu
kepada Ayah, Ibu dan keluarga. Alhasil pengumuman pertama yaitu Sekolah Vokasi
UGM. Aku tidak sabar menantikan hasilnya dan ternyata hasilnya nihil. Aku
gagal, aku menangis seharian di kamar hingga mengundang kedatangan Ibu ke
kamarku. Aku ditanyai mengapa aku menangis, aku tidak menjawab. Karena aku
takut jika Ibuku marah, melihatku seperti ini sepertinya Ibuku merasa iba”
Sabar nduk.. semua sudah ada yang mengatur.. jika kamu ingin berhasil kamu
harus kuat dan tabah”. Mendengar ucapan Ibu, sepertinya ia tahu aku menangis
karena apa,tapi entahlah. Intinya momen seperti ini akan sangat sayang jika
tidak segera dimanfaatkan.”Aku boleh kuliah Bu ?” Tanyaku.”Siapa yang tidak
membolehkanmu ? terserah padamu kamu ingin apa saja, hidupmu ada di tanganmu.
Ibu dan Bapak akan membantu semampu kami. Tapi jika untuk menyiapkan biaya
kuliah, sepertinya itu terlalu sulit untuk kita nduk, kamu tahu sendiri kan
bagaimana kondisi kita sekarang ini ?”. Aku benar-benar tahu bagaimana kondisi
keluarga ini. Memang semua membutuhkan uang, tapi yang benar-benar aku butuhkan
saat ini adalah dukungan keluarga. Aku masih punya tiket bidikmisi dari
pemerintah dan aku sangat bersyukur karena hal itu. Akhirnya pengumuman demi
pengumuman Aku lalui dengan kegagalan. Aku hampir putus asa karenanya. Sudah
banyak strategi yang ku curahkan untuk mendaftar. Bukan hanya sekedar berusaha,
tapi juga berdoa semua sudah ku lakukan tapi tetap saja hasilnya nihil. Aku
tidak diterima di mana-mana. Aku selalu berpikir mana dan apa yang kurang dari
semua ini ?. Terakhir adalah pengumuman SBMPTN. Banyak teman-teman yang
diterima, tapi tidak untukku. Aku pulang dengan ekspresi yang datar, karena
sudah terbiasa dengan kegagalan. Usai menengok pengumuman aku pulang, tepatnya
ba’da maghrib. Aku membuka pintu rumah. Di dalam sudah ada Bapak dan Ibu menyambutku.
Sebelumnya, di warnet aku sudah mengabari mereka kalau aku gagal lagi.”Sabar
nduk, yang tabah rizki sudah ada yang mengatur” Dengan suara yang lembut
Bapakku berkata demikian. Aku mulai lemas dan akhirnya tumpah juga air mata
ini. Bukan karena aku gagal, tapi karena ucapan Bapak yang memang baru pertama
kali ini Aku mendengarnya. Suaranya lembut dan begitu jelas. Aku langsung
menghampiri Bapak dan bersalaman, Aku mengucapkan terimakasih dan mohon doa
restu dari Bapak. Ibuku ikut terharu melihatku seperti itu. Alhamdulillah ya
Allah ini benar-benar ba’da maghrib terindah dalam hidupku.
***
Kesempatan terakhir. Mulai dari Sekolah
Vokasi, SNMPTN, SBMPTAIN, SBMPTN, UM UGM, semuanya gagal dan ini yang terakhir
adalah SPMU. Untuk mendaftar ini aku sudah mendapat doa restu dari Bapak dan
Ibu. Aku benar-benar pasrah. Aku tahu penyebab kegagalan yang dulu-dulu.
Mungkin dulu Aku terlalu sombong, terlalu tidak hati-hati, belum ikhlas, dan
pasrah. SPMU Aku di daftarkan sahabat, kartunya dicetakkan Pak Lutfi dan
pengumuman di tengokkan adik sepupu. Di sini Aku benar-benar tidak modal, dan
pasrah. Akhirnya Aku lolos. Sujud syukurku di rumah Pak Lek dari keluarga Ibu.
Aku sangat berbahagia, terlebih Aku mendaftar lewat bidikmisi dan mimpiku untuk
melanjutkan studi hingga perguruan tinggi benar-benar terwujud salah satunya
karena bidikmisi ini. Ibu dan Bapak tidak perlu susah payah memikirkan dan
mengeluarkan uang banyak untukku, kakak-kakakku pun tersenyum dan kembali
merangkulku. Keluarga besar Bapak dan Ibu pun ikut bergembira. Benar kata
seseorang di saat kita terjatuh di dasar lembah sekalipun Allah akan tetap
membantu kita, kita yang mau berdoa mengharapkan bantuannya. Dan jalan keluar
itu pasti ada.
***
“Kriiiinnnng…. !!” Bel asrama yang mirip
suara alaram pemadam kebakaran berbunyi dengan kerasnya, sontak aku kaget dan
tersadar dari lamunanku, menandakan subuh sudah tiba. Semua anak di kamar
bangun dan bersiap-siap untuk sholat dan mandi. Begitu juga dengan diriku. Aku tersenyum
sendiri, tidak terasa ternyata Aku sudah menjadi seorang mahasiswa, dan
kebanggaan tersendiri menjadi mahasiswa bidikmisi. Aku akan terus melanjutkan
perjuangan hidup ini dengan mimpi. Bukan mimpi yang seperti air digenggam,
namun mimpi yang seperti hujan yang terus mengguyuri duniaku. Dan dengan
bantuan cahaya matahari mimpi itu menjadi seindah pelangi. Dengan bidikmisi Aku
akan meraih asa ku.”BIDIKMISI ! PRESTASI,, !!”. J
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar